Beranjak
Dewasa
Ayam jantan berkokok kian nyaring. Burung-burung pun menyahut dengan kicauannya yang merdu. Udara terasa semerbak harum bunga mawar. Hari dimulai ketika usiaku beranjak 14 tahun. Hari itu tepatnya ialah Hari kamis, 21 November 2015.
Semangat bangun pagi kian menyelimuti tubuhku. Tak biasanya alarm jam weker dapat membangunkan tidurku. Langsung terniang dipikiranku betapa spesialnya hari ini. Hari yang ku tunggu-tunggu tiap tahunnya.
Subuh, menjelang pagi tepatnya pukul 05:00. Mataku terbuka ketika mendengar bunyi alarm yang ku atur tiap malam. Beranjak dari tempat tidur, Aku bergegas mandi dan mengambil air wudhu untuk melaksanakan shalat subuh. Setelah selesai menunaikan ibadah, aku bersiap siap untuk berangkat sekolah.
Ketika usiaku 14 tahun, aku masih duduk di bangku kelas IX SMP. Tepatnya di SMP Negeri 1 Simpang Empat. Siapa yang tidak tahu sekolahku, sekolah yang sering mendapatkan banyak penghargaan tiap tahunnya, mulai dari yang akademik hingga non-akademik. Hingga disebut-sebut sebagai sekolah terfavorit di daerahku.
Untuk pergi ke sekolah, biasanya aku diantar dan dijemput oleh orang tuaku yang selalu setia menemaniku menuntut ilmu. Betapa tidak bisa diragukan lagi kesetiaan dan kasih sayang kedua orang tuaku itu. Mungkin, sebagian orang tua lainnya lebih memilih anaknya untuk berkendara sendiri ataupun menaiki angkutan umum. Tapi, lain hal dengan kedua orang tuaku, mereka lebih memilih untuk mengantar dan menjemputku sekolah, agar keselamatanku tetap terjaga, ucap mereka mengajukan alasan.
Perjalanan pun ku tempuh dari km1 hingga km3,5 untuk menuju ke sekolah. Aku bersama Ibuku mengendarai sebuah sepeda motor metik bermerk Vario. Kami melaju dengan kelajuan sekitar 20km/jam. ‘’Memang lambat, asal selamat’’ ucap ibuku bergurau.
Sesampainya di depan gerbang sekolah, aku pun bersalaman sambil mengucap salam kepada ibuku. Beriringan dengan sampainya aku di depan gerbang sekolah, kullihat banyak siswa-siswi yang datang menaiki angkutan umum maupun bersepeda. Betapa masih banyaknya anak muda zaman sekarang yang sangat bersemangat untuk menuntut ilmu. Semangatku pun semakin menggelegar ketika melihat semangat siswa dan siswi lainnya tuk menuntut ilmu
Langkah kakiku pun mulai melaju sambil mengayunkan kedua tanganku ketika berjalan menuju kelas. Sesampainya di kelas IXA, kelas prestasi sebutannya, Aku pun menaruh tas di tempat dudukku dan segera menghampiri keempat sahabatku yang sedang berbincang-bincang di sudut ruangan kelas. Mereka adalah Ratna Agustina, Maria Ulfah, Muji Rahayu, dan Munah. ‘’Hai, Semua!’’ sapaku kepada mereka. ‘’Hai juga’’ ucap mereka dengan kaget dan memberhentikan pembicaraannya. ‘’Kalian sedang ngomongin apa?” tanyaku dengan heran. “Sedang ngomongin tentang ulangan IPS kemarin” sahut Ratna dengan tegas. “ Oh, ku kira kalian sedang ngomongin aku, hehe.” Jawabku dengan bergurau. Aku pun ikut berbaur dengan pembicaraan mereka
*titt,titt,titt (bel bordering 3x tanda saatnya jam pelajaran dimulai)
Semua siswa berbondong-bondong masuk kelas. Jam pertama pada hari itu ialah pelajaran IPS. Pelajaran yang minggu lalu diadakan ulangan dadakan tentang sejaarah. Bagiku, IPS adalah pelajaran yang menyeramkan karena kita merasa diselimuti oleh hal-hal yang berbau masa lalu, flashback kata anak muda zaman sekarang. “Untung saja aku sempat belajar, mengingat ada firasat buruk, ternyata keesokkan harinya ulangan IPS.” Ucapku dengan spontan.
Ketika semua murid sudah masuk kelas, entah mengapa guru IPS di sekolah ku agak lambat memasuki kelas kami. Biasanya beliau paling tepat waktu kalau disuruh mengajar, terutama di kelas kami, kelas unggulan beliau menyebutnya. Sebut saja beliau Ibu Rusma. Beliau dapat dikategorikan guru killer yang terkenal di sekolah.
Waktu belajar IPS adalah 2 jam pelajaran, tepatnya 90 menit. 15 menit pun berlalu, murid-murid lainnya asik ngobrol satu sama lain. ‘’Suasana kelas kayak pasar’’ ucapku dalam hati. Tiba-tiba Wawan, ketua kelas IX-A, melihat Ibu Rusma bergegas berjalan lurus dari kantor menuju ke kelas kami. Suasana kelas pun mulai hening. Ketika Ibu Rusma melangkahkan kakinya menuju pintu ruangan kelas kami, seisi kelas pun berdiri untuk mengucap salam sebagai tradisi kelas kami dan sebagai rasa hormat kepada guru yang memasuki ruangan kelas kami. “Assalamualaikum Wr.Wb.” teriak kami. “Walaikumsalam Wr.WB” sahut guruku.
Ibu Rusma pun duduk dikursi. Kemudian beliau mengabsen siswa siswi di kelas. Ketika sampai urutan ke-13, namaku Meliana Rizqi dipanggil dan disuruh untuk maju ke depan menghampiri meja guru. Aku pun terkejut, “Kenapa ya aku disuruh maju ke depan?” tanyaku kepada teman sebangku, yaitu Ratna Agustina. “Gak tau Lin, maju aja dulu” jawab Ratna dengan pelan.
*(Aku pun maju menghampiri meja guru)
Aku : Ada apa, Bu ? (Tanyaku dengan heran)
Ibu : Ibu mau bertanya sama kamu. (Dengan nada sinis)
Aku : Bertanya tentang apa, Bu? (Semakin penasaran)
Ibu : Kenapa nilai-nilai ulangan kamu
akhir-akhir ini menurun? Ulangan terakhir ini
saja kamu dapat nilai 45? Kenapa? (Tanya Ibu
Rusma dengan nada tinggi)
Aku : Masa sih, Bu? Saya juga gak tahu bu,
kenapa saya bisa dapat nilai segitu.
(Jawabku dengan pelan)
Ibu : Apa kamu tidak di rumah ?!! (Tanya Ibu dengan nada membentak)
Aku : Belajar kok, Bu. (Jawabku sambil menunduk)
Ibu : Bohong! Apa kamu ini kebanyakan
pacaran, makanya nilai-nilai kamu merosot
turun terutama dalam bidang IPS ?!!
(Tanya ibu agak nyaring)
Aku : (Terdiam, sambil berbicara dalam hati. “Perasaan aku lagi single”)
*Teman-teman dikelas tiba-tiba menyahut “Iya, Bu. Melin terlalu sering pacaran, Bu.”
Aku : Enggak kok, Bu. (Menengok ke arah teman-teman di kelas)
Ibu : Jujur aja kamu ini!! Jangan banyak
alasan!! (Sambil menghentakkan tangan ke
meja guru)
Aku : Sumpah, enggak Bu. Saya juga nggak tahu
kenapa nilai saya begitu. (Sahutku
dengan muka melas)
Ibu : Ibu tidak percaya sama kamu!! Mending
langsung saja Ibu akan memanggil
kedua orang tuamu untuk melaporkan apa yang
terjadi dengan anaknya!!
(Bentak Ibu Rusma sambil mengancam)
Aku : Jangan, Bu. (sambil meneteskan air mata)
Ibu : Gitu aja nangis!! Dasar cengeng kamu
ini!! (Bentak Ibu Rusma sambil
menghentakkan tangan di meja)
Aku : (Kaget, namun tetap terus menunduk sambil
sedikit demi sedikit meneteskan air
mata.)
*Seisi kelas tertawa
Tiba-tiba Ibu Rusma mengatakan “Selamat Ulang Tahun Meliana Rizqi” dan seisi kelas menyanyikan lagu “Happy Birthday”, begitu juga dengan guru yang tadinya memarahiku habis-habisan. Mereka pun langsung memelukku, terutama keempat sahabatku. Aku hanya bisa tersenyum tersipu malu sambil mengusap perlahan air yang keluar dari kedua belah mataku.
Tangis haru bercampur bahagia yang ku rasakan. Betapa tidak menyangka, keempat sahabatku ternyata telah sekongkol dengan seisi kelas dan Ibu Rusma untuk mengerjaiku. Pantas saja dari tadi pagi, tak ada satu orang pun di sekolah yang ingat apalagi mengucapkan selamat atas hari spesialku ini. Ternyata mereka telah menyiapkan kejutan yang special dan tidak terlupakan untukku. Dan lebih parahnya lagi, ternyata ulangan harianku tidak mendapatkan nilai 45 melainkan 95. Huhh, betapa lega perasaanku ketika mengetahui Ibu Rusma ternyata hanya berpura-pura. Beliau pun meminta maaf sebesar-besarnya dan tidak lupa mengucapkan sekaligus mendo’akan yang terbaik di hari ketika usiaku bertambah. Begitu juga dengan teman-teman satu kelasku yang telah mengucapkan selamat dan mendo’akan segala hal yang baik untukku.
Sesampainya di rumah, keluargaku berkumpul untuk makan bersama dan mengucap syukur atas pertambahan usiaku ini. Tak lupa, banyak kejutan dan kado-kado spesial yang ku dapat di hari ulang tahunnku. Ini merupakan hari terindah bagiku.
Harapanku kedepannya ialah pada usiaku yang menginjak dewasa ini, aku diberi segala hal yang membuatku menjadi lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya.
|
~Selesai~
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar